Negara Islam Indonesia (NII) jadi sorotan gara-gara laporan hilangnya sejumlah mahasiswa di Malang, Jawa Timur. Mereka diduga dikarantina dan dicuci otak.
Sejumlah kampus pun langsung melakukan langkah antisipasi, termasuk Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berencana membuka Crisis Center. UIN akan memproses mahasiswa yang masuk NII dengan berbagai cara, salah satunya dialog.
Bendera Negara Islam Indonesia |
Seperti apakah metode cuci otak yang dilakukan NII? Mantan pengikut NII, Ken Setiawan mengatakan, pada para pengikutnya, NII selalu melakukan komunikasi terus-menerus. "Diberi sugesti, pembenaran, tak diberi kesempatan berpikir, dimasuki terus. Pokoknya, kita benar yang lain salah," kata pendiri NII Crisis Centre itu saat dihubungi VIVAnews.com, Rabu 27 April 2011.
Tak hanya dilakukan di sejumlah pertemuan. "Bahkan ketika di jalan, kami ditelepon, di SMS. Diwanti-wanti, kalau ada masalah tidak boleh curhat ke mana-mana," tambah dia.
Para pemimpin akan memakai ayat-ayat tertentu sebagai pembenaran. Misalnya, salah satu ayat terkait Nabi Musa yang artinya, "tugasmu hanya untuk sabar, bukan untuk bertanya," kata Ken. "Itu yang jadi landasan mereka, kami nggak boleh banyak bertanya, itu artinya gagal."
Saat pengikut NII melihat ada hal-hal yang menyimpang seperti korupsi atau zina, akan dikatakan, itu kelakuan oknum. "Dibilang ah, itu kehendak Allah yang penting terus berjuang."
Jika masyarakat menyorot negatif, giliran kisah tauladan Nabi Ibrahim yang tak mempan dibakar Raja Namrud digunakan. "Dikatakan, kita nggak akan terbakar dengan berita itu. Mereka justru merasa diuji," tambah Ken.
Demikian pula jika ada pengikut yang ke luar. Akan dikatakan, "mereka kan orang yang nggak sanggup berjuang." Ancaman juga selalu diberikan untuk para pembelot NII. "Diancam dibunuh, tapi itu bohongan, sejak zaman jebot tak terbukti."
Sementara, Direktur Lembaga Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Surabaya Prof. Dr. Ir. Pribadiono mengatakan efek cuci otak lebih awet daripada hipnotis.
Dijelaskan dia, metode cuci otak adalah mengacak memori atau bioritme otak. "Jika itu dilakukan, otak menjadi rusak mudah dimasuki doktrin apapun. Korban cuci otak bisa lupa keluarga atau segalanya, yang diingat hanya doktrin-doktrin yang diterima," urai guru besar Falkultas Ekonomi Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, Rabu.
Dijelaskan, teknis mengacak memori otak adalah memperbanyak waktu terjaga dan mengurangi tidur. Bersamaan dengan itu peserta diberikan pelatihan fisik yang cukup padat dan waktu istirahat yang sempit. Di tengah waktu istirahat mereka dibangunkan dan kembali diberi pelatihan fisik lagi.
"Rentan waktu dua minggu dengan aktivitas seperti itu memori otak akan kacau. Kemudian, para pendoktrin siap memasukkan doktrinnya melalui alam bawah sadarnya," jelasnya.
Jika ingin cepat sembuh, korban cuci otak harus dikembalikan ke lingkungan asalnya. Dan, diberi pemahaman-pemahaman tentang persoalan yang dihadapi.
Sumber :
0 komentar:
Post a Comment