Bagi Anda yang memiliki obsesi untuk menjadi diktator dan menguasai dunia, atau sekedar menggemari kisah hidup para diktator dunia, ada baiknya Anda menyimak uraian singkat berikut ini…
Era “Booming” Diktator di Indonesia
Pada medio dekade 2010 (2004-2005), bacaan mengenai kisah hidup para diktator dunia membanjiri tanah air. Agaknya, periode-periode tersebut dapat pula ditasbihkan sebagai era “booming” diktator di Indonesia. Entah bagaimana awalnya itu terjadi, namun buku terbitan percetakan Narasi, Kisah Para Diktator (2004), layak ditempatkan sebagai pelopor munculnya bacaan-bacaan mengenai diktator setelahnya.
Sontak, pasca membanjirnya buku-buku tersebut, banyak anak muda tanah air yang seakan “latah” dan mendadak berhasrat untuk menjadi tokoh yang dibacanya dalam buku. Sekonyong-konyong, nama para diktator dunia pun terkenal, sebut saja Hitler, Mussolini, Lenin, Stalin, Castro, Mao dan masih banyak lagi. Tak hanya cukup terkenal, para anak muda tanah air pun “fasih” menceritakan kisah hidupnya secara detail—mengagumkan memang. Namun di antara sederet nama-nama tersebut, agaknya Hitler menjadi tokoh diktator yang paling “digemari” berikut dijadikan “proyek percontohan” untuk menjadi diktator di kemudian hari.[1] Hal tersebut tak mengherankan mengingat track record-nya sebagai diktator terkejam sepanjang masa. Itulah mengapa, seakan Hitler merupakan sosok ideal dari seorang diktator. Di sisi lain, diakui memang, membaca kisah Hitler seolah membaca kisah anak manusia yang mampu meruntuhkan “tembok ketidakmungkinan-nya”, bagaimana tidak, bermula dari gelandangan di emperan kota Berlin, menjadi orang nomor satu di Jerman kemudian. Setiap orang dibuat kagum-terpesona akan kisah hidupnya yang heroik tapi melankolis.
Berkenaan dengannya, penulis meyakini bahwa hingga kini masih terdapat para anak muda loyalis “bapak-bapak” diktator di atas, meskipun mungkin jumlahnya tak sebanyak tempo lalu memang. Singkat kata, tulisan ini didedikasikan pada mereka yang tetap konsisten untuk menjadi diktator berikut menguasai dunia kelak, atau bagi mereka yang sebatas bersimpati atas cerita apik kehidupannya.
Menjadi Diktator
Untuk menjadi diktator, Anda harus;
1. Menjadi pengkhayal/pemimpi
Ini adalah syarat awal sekaligus mutlak untuk menjadi diktator. Tanpa menjadi pengkhayal dan pemimpi, Anda tak akan memiliki power ‘kekuatan’ untuk berpikir besar dan berencana besar. Lihatlah Hitler, semasa menjadi gelandangan ia berani berkata, “Kelak aku akan menjadi orang nomor satu di Jerman…”, meskipun banyak teman yang menertawai dan menganggapnya telah gila, Hitler tetap istiqomah dengan mimpinya. Begitu pula Mussolini, di suatu sore yang khidmat, ia duduk sambil meratapi sisa puing-puing kejayaan Romawi Kuno, berpikir bagaimana tuk mengembalikan kejayaan yang telah lampau tersebut. Bahkan, sempat pula, suatu kali Mussolini muda berteriak-teriak keras di kamarnya, sang ibunda pun menghampirinya dengan terheran-heran, sesaat kemudian Mussolini berkata, “Aku sedang berlatih pidato, kelak aku akan menjadi pemimpin Italia”. Demikian pula Mustafa Kemal, pada usia enam tahun ketika ditinggal mati ayahnya, ia berkata pada sang ibu, “Jangan bersedih, Bu. Kelak aku akan menjadi orang besar…”.
2. Menonjol
Syarat kedua untuk menjadi diktator adalah menonjol. Anda harus memiliki karakter tersebut kapan pun dan dimana pun, baik dalam lingkungan pergaulan (pertemanan), keluarga hingga masyarakat luas. Karakter menonjol akan membuat Anda cepat dikenal. Memang, manusia-manusia dengan karakter seperti ini selalu memiliki musuh, namun perlu diingat pula, mereka juga selalu memiliki banyak pengikut. Banyak orang merasakan sensasi adrenalin ketika berada di dekatnya; mendengar perkataan berani dan perkataan besarnya, melihat perilakunya yang bebas—seolah tak dibatasi apa pun. Ambilah misal Hitler, dalam Perang Dunia I, ia menjadi prajurit yang paling nasionalis dan patriotik sehingga dianugerahi medali penghargaan. Pun, Mussolini berani berkata dan bertindak keras dalam setiap aksi demonstrasi yang dipimpinnya, pernah suatu kali ia mengancam salah satu anggota parlemen akan menjatuhkannya dari gedung bertingkat. Sebelumnya, Mussolini juga dikenal sebagai pimpinan geng. Contoh lain adalah Mustafa Kemal yang menjadi murid terpandai di setiap kelas hingga menamatkan studi militernya. Lenin muda adalah seorang agitator demonstran yang ekstrem, akibat aktivitas itu pula ia dikeluarkan dari universitas. Stalin ketika menempuh studi pastoral menghasut teman-temannya dengan berkata, “Mereka membohongi kita, bacalah buku ini”, buku tersebut adalah buku karya C.R Darwin. Fidel Castro dikenal sebagai pribadi yang optimis, over-optimistic bahkan, ia selalu berkata, “Kita akan menang!”, meskipun berulang kali tertangkap dan dilumpuhkan rezim, ia terus mengatakan hal itu hingga akhirnya kemenangan revolusi benar-benar diraihnya.
3. Tak takut apa pun dan siapa pun
Tak takut pada apa pun dan siapa pun adalah syarat ketiga untuk menjadi diktator. Hal ini penting untuk memunculkan jiwa “superior” dalam diri. Berbekal dengan jiwa itulah kita takkan segan (tak takut) tampil di hadapan publik; berpidato, berargumen, bertegur sapa, dsb. Dengan merasa superior pula, kita akan selalu bersikukuh dengan pikiran dan pendapat-pendapat kita, hingga pada akhirnya orang lainlah yang berbalik mengikuti kita—secara psikologis, seseorang tak dapat selamanya menganggap argumennya benar, ia cenderung menjadi pengikut pada akhirnya. Suatu kali Mussolini pernah ditanya oleh ajudannya, “Apakah Tuan tak merasa canggung berpidato lantang di hadapan ribuan massa?”, jawab Mussolini, “Mereka hanyalah domba-domba”. Sempat ketika Stalin dilarang aparat menyanyikan mars Internasionale[2], ia menyuruh para demonstran yang dipimpinnya untuk “menyiulkannya”. Ia sempat pula ditanya oleh salah seorang wanita kerabat kerajaan Inggris dalam suatu jamuan, “Tuan Stalin, sampai kapan Anda akan membunuh manusia?”, jawab Stalin, “Sampai tak ada masalah. Dimana ada manusia, di situ ada masalah”. Saddam Hussein ketika menjadi simpatisan partai Ba’ath, kerap membahayakan dirinya guna “mengacau” rezim yang berkuasa. Alhasil, ia pun kerap pulang dengan segudang pujian dari atasan-atasannya, karir politiknya pun cepat menanjak karenanya.
4. Oportunis
Oportunis (pandai memanfaatkan kesempatan) adalah syarat mutlak guna segera menduduki tampuk kekuasaan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Hitler dan Mussolini memanfaatkan depresi ekonomi yang terjadi di negaranya untuk naik ke permukaan. Lebih jauh, Hitler mengorbankan salah satu pasukan elitnya guna mencari simpati. Ia menyuruh pasukan SA membuat kerusuhan di kota-kota, kemudian berjanji pada Presiden Paul von Hidenberg untuk meredamnya asalkan diangkat menjadi kanselir Jerman. Segera setelah Hitler diangkat, ia menghabisi seluruh pasukan SA. Mustafa Kemal, Syah Pahlevi dan Batista adalah sederet nama diktator lain yang sukses memanfaatkan konstelasi sosial-politik di negaranya untuk meraih kekuasaan. Sumber :
lintas.me
0 komentar:
Post a Comment